Perbedaan Sanad dan Ijazah
Di upload oleh admin - 22 Oct 2025
54 views

Perbedaan Sanad dan Ijazah

thumbnail

Banyak di antara para pelajar ataupun pengajar, khususnya pada bidang Tahfidzul Qur’an, yang masih awam terkait istilah Sanad dan Ijazah.


Perlu diketahui bahwa Sanad dan Ijazah adalah dua hal yang berbeda — baik saat disematkan untuk Al-Qur’an seperti sanad Al-Qur’an ataupun disematkan pada kitab.


Di sini penulis akan mencoba menguraikan secara singkat terkait Sanad dan Ijazah yang semoga bisa memberikan manfaat untuk umum yang masih awam tentang hal ini.


Keterangan ini penulis dapatkan dari istifadah kepada guru-guru kami, di antaranya Syaikh al-Muqri’ Rendra Abu Shafiyyah حفظه الله, dan juga dalam karya beliau “Muqaddimah Sebelum Mengambil Sanad Al-Qur’an.”


Pengertian Sanad

Sanad adalah mata rantai atau silsilah keilmuan yang didapatkan dari proses yang disebut dengan Tahammul wal Adā’.


  • At-Tahammul (ٱلتَّحَمُّل) : Cara seorang murid untuk mendapatkan riwayat.

  • Al-Adā’ (ٱلْأَدَاء) : Cara guru dalam memberikan riwayat.

Adapun cara Tahammul ada tiga, yaitu:

  1. As-Samā‘ (السَّمَاع) — mendengarkan.

  2. Al-Qirā’ah (ٱلْقِرَاءَة) — membaca.

  3. Al-Ijāzah (ٱلْإِجَازَة) — izin dari guru.


Apabila seseorang melakukan salah satu dari tiga hal tersebut atau bahkan ketiganya, maka sah sanadnya tersambung dengan gurunya.
Dan di antara syarat sah sanad yang lain adalah harus tersambung dari seseorang yang bermanhaj Ahlus Sunnah wal Jamā‘ah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sīrīn رحمه الله:


كانوا لا يسألون عن الإسناد، فلما وقعت الفتنة قالوا: سَمُّوا لنا رِجَالَكُمْ، فَنَنْظُرْ إلى أهل السنة فيؤخذ منهم، وإلى أهل البدعة فلا يؤخذ منهم.

Artinya:
“Dahulu (para sahabat) tidak menanyakan soal sanad, sampai terjadinya fitnah (wafatnya ‘Utsmān). Mereka mengatakan: ‘Tunjukkan siapa perawinya; perhatikanlah, apabila dia seorang Ahlus Sunnah maka ambillah, dan apabila seorang Ahlu Bid‘ah maka jangan ambil sanad mereka.’



Seseorang disebut memiliki sanad Al-Qur’an tatkala ia membacakan atau menyetorkan Al-Qur’an kepada gurunya yang juga terus bersambung hingga Rasulullah ﷺ.
Dan cara menyambungkan sanad Al-Qur’an adalah dengan menyetorkan bacaan kepada guru, dan bisa dilakukan dengan:


  • Hafalan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ kepada Jibrīl عليه السلام.

  • Melihat mushaf, sebagaimana yang dituturkan oleh Zaid bin Tsābit saat mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an:

قال ابن شِهَابٍ وأخبرني خارجةُ بنُ زيدِ بنِ ثابتٍ، سَمِعَ زيدَ بنَ ثابتٍ قال:
فَقَدْتُ آيَةً مِنَ الأحزابِ حين نَسَخْنَا المصحفَ، قد كنتُ أسمعُ رسولَ الله ﷺ يقرأُ بها، فالتمسناها فوجدناها مع خزيمةَ بنِ ثابتٍ الأنصاريِّ {مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا ٱللَّهَ عَلَيْهِ} فألحقناها في سورتها في المصحف.

Artinya:
“Kami kehilangan satu ayat dari Surah Al-Ahzāb saat kami menyalinnya. Sungguh aku telah mendengar langsung dari Nabi ﷺ saat beliau membacanya. Lalu kami mencarinya dan menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit (QS. Al-Ahzab: 23), maka kami pun menggabungkannya dalam mushaf.”



Apakah menjadi syarat mutlak bagi seseorang yang hendak mengambil sanad harus menyetorkan hafalan 30 juz sekali duduk?
Jawabannya tidak, sebagaimana kebiasaan Nabi ﷺ yang menyetorkan bacaan Al-Qur’an satu kali dalam sebulan Ramadan kepada Jibrīl عليه السلام.


Dan juga sabda Nabi ﷺ:

اقْرَأْ فِي كُلِّ ثَلاثٍ

“Bacalah Al-Qur’an dalam tiga hari.”

Seandainya syarat sah menyambungkan sanad Al-Qur’an adalah dengan menyetorkan 30 juz sekali duduk, maka Rasulullah ﷺ sudah melakukannya di hadapan Jibrīl عليه السلام.



Jenis Sanad Al-Qur’an

  1. Sanad Kāmilan (سَنَدٌ كَامِلًا) — Menyetorkan bacaan 30 juz.

  2. Sanad bi Ba‘dil Qur’ān (سَنَدٌ بِبَعْضِ الْقُرْآن) — Sanad tersambung satu surat, beberapa ayat, atau satu lafadz.

Di antara dalilnya adalah bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dan banyak hadits mendukungnya, di antaranya kisah Abu Dardā’ رضي الله عنه:

وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَىٰ (اللَّيْل: ٣)
فقال أبو الدرداءِ: وأنا والله هكذا سمعتُ رسولَ الله ﷺ يقرؤها، وهؤلاء يريدونني أن أقرأها: “وما خلق”، فلا أتابعهم.



Pengertian Ijazah

Ijazah adalah legalitas dari seorang guru kepada muridnya.
Biasanya diikrarkan dengan kalimat (tidak harus dalam bahasa Arab):

فَأَجَزْتُهُ إِجَازَةً صَحِيحَةً بِشَرْطِهَا الْمُعْتَبَرِ عِندَ عُلَمَاءِ الْحَدِيثِ وَالْأَثَرِ



Jenis Ijazah

  1. Ijazah Qirā’ah (إِجَازَةُ الْقِرَاءَةِ)
    Hadiah dari guru kepada muridnya, tetapi murid tidak bisa meriwayatkan kembali karena dikhawatirkan ada ketidaksesuaian nash atau pemahaman akibat lemahnya murid.


  2. Ijazah Qirā’ah wal Iqrā’ (إِجَازَةُ الْقِرَاءَةِ وَالْإِقْرَاءِ)
    Izin dari guru kepada muridnya untuk meriwayatkan kembali apa yang telah didapatkan.
    Biasanya ditandai dengan shighah:


    وَأَذِنتُ لَهُ أَنْ يَقْرَأَهَا وَيُقْرِئَ بِهَا



Memberikan ijazah memiliki syarat yang cukup berat, yaitu:

عَلَى شَرْطِهِ الْمُعْتَبَرِ عِندَ عُلَمَاءِ الْحَدِيثِ وَالْأَثَرِ
“Dengan syarat yang muktabar di sisi ulama ahli hadits dan atsar.”


Syaikh Muhammad Ḥabībullāh Asy-Syinqīṭī رحمه الله menjelaskan bahwa syarat muktabar mencakup:

  1. At-Tatsabbūt (ٱلتَّثَبُّت) — Berhati-hati dan cermat dalam lafadz yang sulit.

  2. Al-Murāja‘ah (ٱلْمُرَاجَعَة) — Mengulang-ulang kepada masyāyikh yang mutqin.

  3. Ar-Rujū‘ ilā al-‘Ulamā’ (ٱلرُّجُوعُ إِلَى الْعُلَمَاءِ) — Merujuk kepada ulama ketika ada masalah baru.

  4. Al-Warā‘ (ٱلْوَرَع) — Bersikap wara’ dalam menjawab persoalan.


Terkadang seorang mujiz (pemberi ijazah) juga memberikan syarat-syarat khusus seperti kuat hafalan, baik amalan, atau berinfak (sebagaimana Imam al-Ḥārits bin Miskīn kepada Imam an-Nasā’ī), dan hal ini diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat.



Yang perlu diperhatikan pula adalah bahwa Ijazah Lisan (إِجَازَة لِسَان) lebih tinggi kedudukannya dalam ilmu riwayah daripada Ijazah Tulis, karena ijazah tulis hanya sebagai penguat.


Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:

اسْتَقْرِئُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ: مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، وَسَالِمٍ مَوْلَى حُذَيْفَةَ، وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ.

“Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang, yaitu: Abdullah bin Mas‘ūd, Sālim maula Ḥudzaifah, Ubay bin Ka‘b, dan Mu‘ādz bin Jabal.”



Kesimpulan


  1. Sanad secara otomatis tersambung saat murid belajar kepada gurunya dengan cara yang benar. Jadi sanad tetap tersambung meskipun tidak ada ikrar dari seorang guru.
    Contoh:

    • Bacaan ikhfā’ bisa dipengaruhi oleh sifat isti‘lā’, ini kami dapatkan dari Ust. Imāduddīn & Ust. Adi Iqbal حفظهما الله.


    • Bacaan iqlāb bisa dibaca dengan ithbāqusy syafah atau tarkul furjah, ini kami dapatkan dari Syaikh al-Muqri’ Riza Alvin حفظه الله.
      Dua hal tersebut adalah contoh tersambungnya sanad secara lafadz.


  2. Ijazah adalah izin guru kepada muridnya untuk meriwayatkan kembali, dan ini harus diikrarkan oleh guru.
    Ini merupakan hak mutlak guru, bukan hak tuntutan murid.
    Meskipun murid sudah belajar lama dan khatam berkali-kali, jika guru belum memberikan ikrar pengijazahan, maka murid belum memiliki ijazah yang bersambung kepada gurunya.


  3. Sanad tetap tersambung meskipun tanpa ijazah.


وَاللَّهُ أَعْلَمُ